ANALISIS JURNAL I
Tema : Transformasi
Lingkungan Hidup Masyarakat Yogyakarta
Judul : MODEL
PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS
MASYARAKAT DI KOTA YOGYAKARTA
Pengarang : Isnaini
Muallisin, SIP
Latar Belakang Masalah
Latar Belakang Masalah
Program Perencanaan Nasional yang mengamanatkan dunia pariwisata untuk turut serta memulihkan perekonomian nasional dan memulihkan citra pariwisata Indonesia dimata internasional akan semakin berat untuk dilaksanakan.
Dalam peta kepariwisataan nasional, potensi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menduduki peringkat kedua setelah Bali.Penilaian tersebut didasarkan pada beberapa faktor yang menjadi kekuatan pengembangan wisata di DIY.Pertama, berkenaan dengan keanekaragaman objek.Dengan berbagai predikatnya, DIY memiliki keanekaragaman objek wisata yang relatif menyeluruh baik dari segi fisik maupun non fisik, disamping kesiapan sarana penunjang wisata. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta relatif memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Kedua, berkaitan dengan ragam spesifikasi objek dengan karakter mantap dan unik seperti kraton, candi prambanan, kerajinan perak di Kotagede.
Spesifikasi objek ini
masih didukung oleh kombinasi objek fisik dan non fisik dalam paduan yang
seras.Kesemua faktor tersebut memperkuat daya saing DIY sebagai propinsi tujuan
utama primary destination) tidak saja bagi wisatawan nusantara maupun wisatawan
mancanegara.
Sebutan Prawirotaman dan Sosrowijayan sebagai ‘kampung Internasional' membuktikan kedekatan atmosfir Yogyakarta dengan 'selera eksotisme' wisatawan mancanegara.
Sebutan Prawirotaman dan Sosrowijayan sebagai ‘kampung Internasional' membuktikan kedekatan atmosfir Yogyakarta dengan 'selera eksotisme' wisatawan mancanegara.
Kota Yogyakarta yang memiliki cukup banyak objek wisata dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu objek wisata budaya dan objek wisata buatan (konveksi dan wisata belanja).Potensi objek dan daya tarik wisata di Yogyakarta adalah museum, bangunan bersejarah, bangunan budaya, kelompok kesenian/atraksi wisata dan kawasan malioboro. Yang termasuk dalam kategori objek wisata budaya diantaranya adalah benteng vredeburg, Kraton Yogyakarta, taman sari, kraton pakualaman dan makan kotagede. Sedangkan yang masuk dalam kategori objek wisata buatan diantaranya adalah museum Sono Budaya, museum Sasono Wirotomo, museum AD (Dharma Wiratama), museum perjuangan, BIOLOGI UGM, purawisata, kebun plasma pisang, kebun binatang Gembira Loka, dan Kali Code (Profil Kota Yogyakarta, 2003:10).
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2000 diketahui bahwa jumlah wisatawan yang mengunjungi kota Yogyakarta terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 64.599 orang dan wisatawan nusantara (wisnu) sebanyak 790.716 orang ( profil Kota Yogyakarta 2003: 11).
Dengan adanya potensi wisata diatas, perlibatan partisipasi masyarakat dalam pariwisata di Kota Yogyakarta masih minim.Hal ini diperkuat oleh pernyataan Condroyono, kepala Baparda DIY yang menyatakan bahwa sense of tourism masyarakat DIY, termasuk birokrasinya masih sangat rendah.(Kedaulatan Rakyat, 13 juli 2005). Sebagai contoh konkrit adalah pengembangan Kali Code sebagai kawasan wisata di Yogyakarta, hingga kini masih terbengkalai.Padahal, rencana itu telah ditetapkan pemerintah daerah setempat sejak 16 tahun silam. Selain masalah dana, kesadaran warga sekitar yang minim untuk menjaga kebersihan sungai juga menjadi penyebab ( Mrifica, 2004).
Permasalahan :
Berdasarkan pemikiran diatas, maka permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Kota Yogyakarta?
2. Bagaimanakah model yang efektif bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Kota Yogyakarta?.
Tujuan Penelitian :
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai peran serta masyarakat dalam
pengembangan pariwisata di Kota Yogyakarta.
2. Untuk mencari model yan efektif bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di
Kota Yogyakarta.
Metodologi :
1. Community- Bassed Tourism (CBT)
Adapun definisi CBT adalah pariwisata yang menyadari kelangsungan budaya, sosial, dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini dikelola dan dimiliki oleh masyarakat untuk masyarakat, guna membantu para wisatawan untuk meningkatkan kesadaran mereka dan belajar tentang masyarakat dan tata cara hidup masyarakat lokal (local way of life). Dengan demikan, CBT sangat berbeda dengan pariwisata massa (mass tourism). CBT merupakan model pengembangan pariwisata yang berasumsi bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-nilai kebutuhan masyarakat sebagai upaya membangun pariwisata yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan, inisiatif dan peluang masyarakat lokal (Pinel: 277) CBT bukanlah bisnis wisata yang bertujuan untuk memaksimalkan profil bagi para investor.
CBT lebih terkait dengan dampak pariwisata
bagi masyarakat dan sumber daya lingkungan (environmental resources).CBT lahir
dari strategi pengembangan masyarakat dengan menggunakan pariwisata sebagai
alat untuk memperkuat kemampuan organisasi masyarakat rural/lokal.
Konsep CBT mempunyai prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai tool of community development bagi masyarakat lokal, yakni:
- Mengakui, mendukung dan mempromosikan pariwisata yang dimiliki masyarakat,
- Melibatkan anggota masyarakat sejak awal pada setiap aspek,
- Mempromosikan kebanggaan masyarakat,
- Meningkatkan kualitas hidup,
- Menjamin sustanbilitas lingkungan,
- Memelihara karakter dan budaya lokal yang unik,
- Membantu mengembangkan cross-cultural learning,
- Menghormati perbedaan-perbedaan kultural dan kehormatan manusia,
- Mendistribusikan keuntungan secara adil di antara anggota masyarakat,
- Menyumbang prosentase yang ditentukan bagi income proyek masyarakat.
2. Model Pengembangan CBT
Buku, riset, dan survey tentang pelibatan masyarakat dalam pariwisata atau community-bassed tourism telah banyak dilakukan. Ketertarikan terhadap partisipasi masyarakat dalam dunia pariwisata tampaknya berakar di Amerika awal 1970-an. Gunn (1972: 66) mengkampanyekan penggunaan forum bersama yang dihadiri oleh pemimpin masyarakat, konstituen, perancanag pariwisata yang diharapkan. Gunn berpendapat bahwa keuntungan dari community approach yang diadvokasikannya dapat bermanfaat bagi penduduk dan para pengunjung.
Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk wisata. D'amore memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni;
- Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan penduduk lokal (resident)
- Mempromosikan dan mendorong penduduk lokal
- Pelibatan penduduk lokal dalam industri
- Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan
- Partisipasi penduduk dalam event-event dan kegiatan yang luas
- Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal
- Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh
Supaya pelaksanaan CBT dapat berhasil dengan baik, ada elemen-elemen CBT yang musti diperhatikan, yakni:
- Sumberdaya alam dan budaya,
- Organisasi-organisasi masyarakat,
- Manajemen,
- Pembelajaran (Learning).
Hasil dan Pembahasan :
1. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata
Dilihat dari karakter penduduk dan kondisi masyarakat, Prawirotaman dan tamansari memiliki perbedaan yang unik, Prawirotaman adalah kampung internasional dimana para turis mancanegara biasanya tertarik untuk menginap di hotel-hotel di kampung Prawirotaman.Disini, tersedia hotel-hotel kelas melati yang menyediakan fasilitas lengkap standar internasional; money changer, kafe, artshop.Hotel-hotel dan sarana penunjang wisata lainnya dimiliki oleh para pemodal dari luar Prawirotaman.
Selain itu, para pekerja yang ada di ‘kampung internasional’ tersebut pada umumnya bukan penduduk lokal .mereka adalah para profesional di bidangnya masing-masing yang direkrut secara professional pula.Hal ini mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata sangat rendah, bahkan msyarakat terkesan acuh tak acuh.Bila ditelusuri lebih dalam, terdapat kesenjangan kesejahteraan masyarakat yang sangat mencolok.Dikampung Prawirotaman bagian dalam, tempat tinggal masyarakat terkesan kumuh, saling berhimpitan, dan kondisinya sangat memprihatinkan. Banyak pemuda menganggur , tidak mempunyai life skill yang memadai, apalagi dalam bidang pariwisata. Pemandangan ini sangat kontras dengan hotel-hotel dan fasilitas penunjang wisata lainnya yang ramai dikunjungi para wisatawan mancanegara.
2. Model Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Dalam merumuskan model yang efektif untuk mehembangkan pariwisata berbasis masyarakat di Kota Yogyakarta, khususnya yang berada dikawasan Tamansari dan Prawirotaman terdapat kesamaan cara pandang dalam melihat keterlibatan masyarakat dalam pariwisata dengan membuat actionplan. Actionplan yang dirumuskan oleh masyarakat dan untuk masyarakat dari kedua lokasi tersebut mempunyai perbedaan yang sangat tajam, terutama terkait dengan karakter sosial, budaya, potensi budaya, tingkat partisipasi masyarakat, sehingga dalam perumusan model CBT berbeda.
Kesimpulan :
Berdasarkan temuan penelitian, maka kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata di kota Yogyakarta
- Ditingkat kebijakan, sudah ada upaya dari para stake holders untuk sedapat mungkin melibatkan masyarakat dalam pengembangan masyarakat. Namun, perencanaan dan pengembangan tersebut masih bersifat praktis-teknis dengan memberikan insentif kepada pelaku budaya dan belum pada pengembangan konsep yang komprehensif untuk mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat.
- Sementara peran serta masyarakat sendiri berdasarkan temuan untuk kasus di Tamansari sudah ada inisiatif dari beberapa orang dan belum menjadi kekuatan komunitas yang terorganisir dengan baik.
b. Model yang efektif bagi
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Kota Yogyakarta
- Untuk model Tamansari, masyarakat menginkinkan model kampung budaya. Sebab masyarakat di sekitar Tamansari sudah memiliki potensi dan model budaya (cultural capital) yang beragam seperti kerajinan batik tradisional, gejog lesung, wayang kulit, pandhe besi dan lain-lain, maka ada beberapa metode yang perlu dilakukan, yakni pertama, menyadarkan masyarakat bahwa seluruh kegiatan pariwisata yang ada di Tamansari adalah wisata budaya (cultural tourism) lintas sektor. Kedua, mengidentifikasi batasan-batasan kegiatan pariwisata tradisional guna menyediakan pengalaman dan interaksi budaya yang lebih beragam dan berjangkauan luas.Ketiga, melakukan desain baru untuk memperbaiki yang sudah ada guna menciptakan pengalaman-pengalaman berpariwisata.Keempat, mengaitkan pengembangan wisata dengan kebutuhan masyarakat setempat.Kelima, menciptakan suatu produk sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pariwisata. Keenam, menciptakan produk-produk wisata lain berbekal modal budaya untuk memperoleh kemandirian dan kesejahteraan ekonomi sendiri.
- Sedangkan model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang efektif untuk dikembangkan di prawirotaman adalah model kampung internasional yang memerlukan adanya dorongan yang dari pemerintah dan operator pariwisata (decision maker untuk mengajak dan melibatkan masyarakat setempat dalam mengelola dan mengambangkan kampung internasional Prawirotaman. Oleh karena itu, masyarakat berharap pengambil kebijakan di tingkat eksekutuf dan legislatif mau memperhatikan inisiatif dan potensi lokal yang ada. Pemerintah dan dinas terkait, selaku pelaksana kebijakan, diharapkan menjadi fasilitator bagi munculya partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan kampung internasional tersebut.
- Untuk model Tamansari, masyarakat menginkinkan model kampung budaya. Sebab masyarakat di sekitar Tamansari sudah memiliki potensi dan model budaya (cultural capital) yang beragam seperti kerajinan batik tradisional, gejog lesung, wayang kulit, pandhe besi dan lain-lain, maka ada beberapa metode yang perlu dilakukan, yakni pertama, menyadarkan masyarakat bahwa seluruh kegiatan pariwisata yang ada di Tamansari adalah wisata budaya (cultural tourism) lintas sektor. Kedua, mengidentifikasi batasan-batasan kegiatan pariwisata tradisional guna menyediakan pengalaman dan interaksi budaya yang lebih beragam dan berjangkauan luas.Ketiga, melakukan desain baru untuk memperbaiki yang sudah ada guna menciptakan pengalaman-pengalaman berpariwisata.Keempat, mengaitkan pengembangan wisata dengan kebutuhan masyarakat setempat.Kelima, menciptakan suatu produk sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pariwisata. Keenam, menciptakan produk-produk wisata lain berbekal modal budaya untuk memperoleh kemandirian dan kesejahteraan ekonomi sendiri.
- Sedangkan model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang efektif untuk dikembangkan di prawirotaman adalah model kampung internasional yang memerlukan adanya dorongan yang dari pemerintah dan operator pariwisata (decision maker untuk mengajak dan melibatkan masyarakat setempat dalam mengelola dan mengambangkan kampung internasional Prawirotaman. Oleh karena itu, masyarakat berharap pengambil kebijakan di tingkat eksekutuf dan legislatif mau memperhatikan inisiatif dan potensi lokal yang ada. Pemerintah dan dinas terkait, selaku pelaksana kebijakan, diharapkan menjadi fasilitator bagi munculya partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan kampung internasional tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar